Sebanyak 559 kapal milik Belanda tertahan sejak 23 September 1945 hingga akhir tahun 1949 di pelabuhan Australia. Kapal-kapal tersebut disinyalir hendak memuat amunisi dan persenjataan yang akan digunakan untuk kepentingan pendudukan kembali Indonesia oleh Belanda. Aksi ini merupakan bentuk pemogokan berskala besar dan bagian dari rangkaian aksi boikot Black Armada yang berlangsung di berbagai pelabuhan penting pada kota-kota besar Australia yaitu Brisbane, Fremantle, Melbourne, dan Sydney.
Aksi boikot ini dinobatkan sebagai aksi mogok terbesar sepanjang sejarah Asia Pasifik, diinisiasi oleh Central Komite Indonesia Merdeka (CENKIM) dan didukung oleh serikat buruh serta pelaut Australia melalui asosiasi Waterside Workers Federation (WWF). Aksi heroik tersebut dimobilisasi oleh mantan tahanan politik Boven Digoel yang bertujuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Mereka (Digoelis) terseret ke Australia akibat prahara Perang Asia Timur Raya dan dievakuasi oleh Charles van der Plas, seorang birokrat kolonial Hindia Belanda, yang khawatir bahwa eksistensi mereka akan dimanfaatkan oleh Jepang untuk propaganda perang. Tanpa disangka, eksodus mereka ke negeri kangguru justru dimanfaatkan dengan baik untuk memobilisasi dukungan Australia demi kemerdekaan Indonesia dan mereka juga berhasil mencoreng citra Belanda di dunia internasional.
Ketika dipindahkan ke Australia, Digoelis ditempatkan di kamp tahanan Liverpool dan Cowra, lokasi yang sama dengan tahanan-tahanan Sekutu dari Italia, Jepang, dan kolaborator Jepang dari Tiongkok serta Korea. Kondisi ini disebabkan oleh keinginan van der Plas yang disampaikan kepada Pemerintah Australia dengan mengecap mereka (Digoelis) sebagai psikopat berbahaya dan musuh sekutu.
Namun, Digoelis menemukan berbagai taktik untuk mengungkap kondisi mereka yang sebenarnya kepada orang Australia. Salah satunya lewat surat dari seorang tahanan bernama Jo-Jo (nama panggilan) yang menyampaikan melalui perantara seorang buruh kereta api Australia ketika hendak dibawa ke kamp tahanan. Informasi ini pun kemudian memancing amarah rakyat Australia, khususnya serikat buruh yang menekan pemerintah Australia untuk membebaskan mereka ketika partai buruh sedang berkuasa.
Setelah dibebaskan, Digoelis kemudian diakomodir untuk bekerja sama oleh Belanda. Digoelis memanfaatkan kerja sama ini untuk menginfiltrasi dan mengakses informasi penting sekutu melalui organisasi Serikat Indonesia Baroe (SIBAR) yang diciptakan oleh Belanda untuk kepentingan propaganda perang melawan Jepang. SIBAR juga mencakup kantor informasi Hindia Belanda; Netherlands Indies Government Information Service (NIGIS) yang bertugas memonitor informasi di Hindia Belanda dan redaksi surat kabar Oetoesan Penjoeloeh yang digunakan oleh Digoelis untuk menyampaikan berita Perang Dunia II kepada diaspora Indonesia di Australia.
Akses terhadap informasi sensitif sekutu di NIGIS memungkinkan orang-orang Indonesia memonitor kondisi terbaru di Hindia Belanda, termasuk informasi kekuatan perang sekutu dan kabar kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh para Digoelis dengan membentuk Central Komite Indonesia Merdeka (CENKIM) di Brisbane yang didirikan oleh Mohammad Bondan (mantan PNI Baru), Sardjono (mantan Ketua PKI), Djamaloedin Tamim (mantan PARI), dan beberapa tokoh Digoelis lainnya demi mendukung kemerdekaan Indonesia.
Kemudian, aksi ini didukung oleh elemen kiri Australia, khususnya Partai Komunis Australia dan Partai Buruh Australia. Selain itu, serikat pelaut Inggris dan Amerika Serikat pun setuju untuk memblokir akses bagi kapal-kapal Belanda yang hendak berlayar dari pelabuhan Australia. Aksi yang bersifat transnasional ini tentunya didukung pula oleh gerakan nasionalis dan pelaut dari berbagai negara: Tiongkok, India, Filipina, dan Malaya. Kala itu, Australia menjadi titik pertemuan lintas nasional akibat pecahnya Perang Asia Timur Raya yang meletus tiga tahun sebelumnya.
Film Indonesia Calling (1946) yang diproduksi berdasarkan arahan dari sutradara berkebangsaan Belanda, Joris Ivens, menggambarkan secara umum bagaimana berjalannya peristiwa Black Armada dan solidaritas lintas negara yang ditonjolkan dalam beberapa cuplikan di film tersebut. Salah satu cuplikan awal menunjukkan bahwa Tukliwon sebagai perwakilan dari pelaut Indonesia menerima bendera merah putih dari E.V. Elliot sebagai bentuk solidaritas kelas pekerja Australia kepada rekan-rekannya yang berasal dari Indonesia.