Jakarta (ANTARA) - Pada masa kabar disampaikan melalui suara tanpa gambar, radio hadir bukan sekadar sebagai sarana hiburan, tetapi juga menjadi media informasi serta saksi perjalanan bangsa ini.
Hari Radio Nasional diperingati setiap tanggal 11 September, bertepatan dengan hari berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI).
Maka, tidak heran jika tanggal ini juga dikenal sebagai Hari Radio Republik Indonesia.
Sebagai wujud penghormatan, Antara mengajak Anda untuk menyelami sejarah di balik Hari Radio Nasional.
Baca juga: Kemenag kukuhkan 60 penyiar radio jadi agen milenial moderat
Cerita di balik Hari Radio Nasional
Hari Radio Nasional tidak lepas dari Radio Republik Indonesia.
Didirikannya RRI berawal dari Hoso Kyoku—siaran radio pemerintah Jepang— yang berhenti beroperasi pada 19 Agustus 1945.
Sejak saat itu, masyarakat tidak lagi memiliki akses terhadap informasi mengenai hal yang harus dilakukan pasca Indonesia meraih kemerdekaan.
Sementara itu, radio luar negeri mengabarkan bahwa pasukan Inggris akan menduduki Jawa dan Sumatera.
Sebagai respons terhadap situasi tersebut, sejumlah mantan pegawai Hoso Kyoku mengadakan pertemuan dengan pihak pemerintah Indonesia di Jakarta.
Mereka menyadari bahwa radio memiliki peran penting sebagai alat komunikasi dan dalam menyebarkan informasi kepada rakyat.
Baca juga: Wakil Menteri Ekraf: Radio mendukung banyak subsektor ekonomi kreatif
Imbauan untuk mendirikan RRI
Pertemuan tersebut dilaksanakan pada 11 September 1945 di bekas gedung Raad van Indië, Penjambon, dan dihadiri oleh 8 delegasi dari Hoso Kyoku.
Delegasi tersebut diantaranya Dr. Abdulrachman Saleh, Adang Kadarusman, Soehardi, Soetarji Hardjolukita, Soemarrdi, Sudomarmato, Harto, dan Maladi.
Melalui pertemuan tersebut, Abdulrachman Saleh—ketua delegasi—mengimbau pemerintah untuk mendirikan stasiun radio sebagai alat komunikasi dengan rakyat mengingat sekutu akan tiba di Jakarta pada akhir September 1945.
Melansir dari situs resmi RRI, alasan radio dipilih sebagai alat komunikasi karena dapat dengan cepat menyampaikan informasi, bahkan di situasi pertempuran yang tidak menentu.
Para delegasi juga menyarankan pemerintah Indonesia meminta izin kepada pihak Jepang agar dapat menggunakan alat-alat dari Hoso Kyoku. Pada awalnya, saran ini ditolak karena peralatan tersebut merupakan inventaris sekutu.
Namun, mereka tetap bersikukuh dan meneruskan rencana dengan mempertimbangkan risiko peperangan.
Pada akhir pertemuan, Dr. Abdulrachman Saleh membuat simpulan akhir yang berisi:
1. Pembentukan Persatuan Radio Republik Indonesia yang akan meneruskan penyiaran dari 8 stasiun di Jawa
2. Mempersembahkan RRI kepada Presiden dan Pemerintah RI sebagai alat komunikasi dengan rakyat
3. Mengimbau agar semua hubungan antara pemerintah dan RRI disalurkan melalui Abdulrachman Saleh.
Meskipun tidak setuju dengan beberapa hal, pada akhirnya pemerintah Indonesia tetap menyanggupi simpulan tersebut dan siap membantu RRI.
Baca juga: Lokalitas yang mengudara: ketika radio menjadi wajah digital bangsa
Lahirnya RRI pada 11 September 1945
Pada hari yang sama, delegasi dari 8 stasiun radio di Jawa menggelar rapat di kediaman Adang Kadarusman.
Delegasi yang hadir adalah Soetaryo dari Purwokerto, Soemarmad dan Soedomomarto dari Yogyakarta, Soehardi dan Harto dari Semarang, Maladi dan Soetardi Hardjolukito dari Surakarta, serta Darya, Sakti Alamsyah, dan Agus Marahsutan dari Bandung.
Surabaya dan Malang tidak ikut serta, sebab tidak adanya delegasi dari daerah tersebut.
Hasil akhir dari pertemuan tersebut adalah berdirinya Radio Republik Indonesia pada 11 September 1945, dengan Dr. Abdulrachman Saleh ditunjuk sebagai pemimpinnya.
Di bawah kepemimpinan Dr. Abdulrachman Saleh—yang juga dikenal sebagai Bapak Radio Indonesia—RRI hadir sebagai media perjuangan, menyuarakan kabar kemerdekaan, dan membangkitkan semangat rakyat Indonesia.
Sejak saat itu, RRI terus mengudara dari mulai masa kemerdekaan, revolusi, pembangunan, hingga kini di tengah era digital senantiasa hadir menyampaikan informasi terpercaya bagi masyarakat Indonesia.
Baca juga: Radiodays Asia di Indonesia perkuat posisi Indonesia di kancah global
Baca juga: Wamenkomdigi dorong radio daerah adaptif di era digital
Pewarta: Nadine Laysa Amalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.