
"SIMPLICITY is the ultimate sophistication.” — Leonardo da Vinci.
Di sepanjang sejarah peradaban, manusia selalu terpikat oleh bianglala kemilauan kemewahan. Dari istana Versailles yang dipenuhi kristal dan lukisan megah, kubah-kubah emas yang menjulang di Kremlin, atau aula megah Istana Potala yang berdiri di atas langit Lhasa, atau dari piramida Mesir, hingga Taj Mahal serta pencakar langit korporasi, kemegahan kerap dielu-elukan sebagai simbol absolutitas kejayaan dan keindahan.
Namun, di balik kilau itu, bersembunyi cerita panjang kebrutalan moral yang menyejarah. Manusia, kata pepatah lama, lebih parah jika dibandingkan dengan keledai karena mampu mengulang kesalahan yang sama tanpa belajar dari jejak penderitaan yang ia timbulkan. Kemegahan yang dibangun atas air mata rakyat, dari Prancis hingga Tiongkok, dari Sri Lanka hingga Nepal, bahkan dalam ironi kontemporer Indonesia—dengan megaproyek yang mengorbankan hutan dan kampung, atau pesta anggaran di tengah kelaparan—ialah catatan kelam yang tak kunjung berkesudahan.
Ketika kita menyigi lapis demi lapis narasi di balik fasadnya, kemewahan itu lebih mirip panopticon (meminjam istilah Michel Foucault lewat bukunya, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, 1977) raksasa: instrumen kedegilan dan kejumudan kekuasaan yang memenjarakan hidup masyarakat.
Sejarah mengajarkan bahwa ornamen kemewahan dan kemegahan yang dibangun atas air mata rakyat, dari Prancis hingga Tiongkok, dari Sri Lanka hingga Nepal, bahkan dalam ironi kontemporer Indonesia—dengan megaproyek yang mengorbankan hutan dan kampung, atau pesta anggaran di tengah kelaparan—adalah catatan kelam yang tak kunjung padam. Kilauan kemewahan itu, yang tampak sakral, sering kali hanya topeng profan bagi kebrutalan yang menopangnya.
Di sinilah kita menyigi sebuah persoalan purba: apakah yang sesungguhnya kita sebut keindahan, ketika ia lahir dari jerit sang nestapa? Apakah yang lahir dari penderitaan layak disebut keindahan? Atau justru ia ialah senja kala estetika, inertian entropy dari elan kemanusiaan?
ILUSI GEMERLAP
Thorstein Veblen pernah menyebut konsumsi kemewahan sebagai conspicuous consumption — pamer status yang menutupi keterasingan moral. Dalam The World of Goods, Mary Douglas dan Baron Isherwood (1996) mengingatkan bahwa barang-barang tidak hanya memuaskan kebutuhan, tetapi juga menjadi simbol yang mengikat dan membedakan kelompok sosial.
Dalam habitus istana absolutis, kemegahan bukan sekadar dekorasi, melainkan medan simbolis untuk meneguhkan hierarki. Versailles, dengan taman-taman yang tertata obsesif, ialah panggung bagi raja yang ingin mematri dirinya sebagai pusat kosmos. Pierre Bourdieu menyebutnya arena distingsi: di sanalah selera dijadikan senjata dominasi.
Kebrutalan kemewahan tidak hanya terpampang pada istana dan arsitektur yang mencakar cakrawala. Ia juga merasuk ke benda-benda yang melekat pada tubuh dan hasrat manusia: jam tangan bernilai miliaran rupiah yang dijadikan simbol status, tas Hermes seharga ratusan juta rupiah yang dianggap prestise, mobil sport yang berderu di jalan sempit kota, perhiasan emas dan intan yang menyalakan bianglala kesombongan. Semuanya menyembunyikan beban: kerja paksa di tambang, eksploitasi sumber daya, serta keringat dan air mata buruh yang jauh dari panggung kemilauan.
Namun, di balik setiap pahatan marmer dan kaca patri, ada cerita eksploitasi. Pajak yang mencekik, kerja rodi, bahkan penjarahan koloni menopang grandeur itu. Kemilauan yang kita puja ialah hasil katastrofi nilai. Sanento Yuliman (2020) mengingatkan kita pada 'estetika yang merabunkan': keindahan yang memalingkan mata dari luka sosial yang menjadi asalnya. Kilau emas itu bukanlah aurora keindahan, melainkan topeng yang disembunyikan dalam kabut sejarah, bagi kebiadaban yang cermat dirancang agar tampak sah.
ESTETIKA DAN MORALITAS
Edmund Burke dalam A Philosophical Enquiry into the Origin of Our Ideas of the Sublime and Beautiful (1757) membedakan antara yang indah dan yang agung (sublime). Namun, ia juga menyiratkan bahaya ketika sublime diperalat kekuasaan untuk memukau dan menundukkan. Keindahan sejati, kata Immanuel Kant dalam Critique of Judgment (1790), bersifat disinterested, bebas dari kepentingan. Jika kemewahan lahir dari kerakusan, ia gagal memenuhi horizon moral estetika. Ia hanya menciptakan inertian bagi nurani, menjebak kita dalam jerat yang profan.
Martha Nussbaum, melalui Upheavals of Thought: The Intelligence of Emotions (2001), mengingatkan bahwa pengalaman estetis yang autentik justru menumbuhkan empati dan memperdalam moralitas; ia bukan instrumen untuk membungkam nurani.
Hans-Georg Gadamer melalui Truth and Method (1960)—di bagian mengenai estetika (khususnya bab 'The Ontological Foundation of the Human Sciences' dan pembahasan tentang pengalaman seni)—menambahkan, pengalaman estetis ialah dialog yang menuntut keterbukaan; ia tak bisa dipasung menjadi alat legitimasi. Dalam cakrawala Aristotelian, seni seharusnya menghadirkan moral katarsis, menyucikan emosi, memurnikan cahaya batin manusia yang menguatkan integritas. Bagaimana mungkin kemegahan yang lahir dari kedegilan dan penindasan melahirkan keluhuran semacam itu?
Alasdair MacIntyre dalam After Virtue: A Study in Moral Theory (1981) membaca krisis nilai modern sebagai kegagalan tradisi moral dalam menghadapi daya tarik kultus kemegahan. Ketika nilai terpisah dari praktik, keindahan pun kehilangan jiwa etisnya, menjadi sekadar penanda status yang hampa, nirmakna.
KATARSIS DAN KESEDERHANAAN
Leonardo da Vinci, dengan kejernihan yang tak lekang, menulis: 'Simplicity is the ultimate sophistication'. Dalam terang filsafat Leonardo, puncak dari sofistikasi justru bukan terletak pada gemerlap kemewahan, melainkan pada kesederhanaan yang mengandung roh kemurnian.
Wabi-sabi, shibui, yugen dalam estetika Zen Jepang mengajarkan keindahan lahir dari ketidaksempurnaan, dari kesunyian yang mengandung kedalaman. Konfusianisme melalui Analects (abad ke-5 hingga ke-3 SM) menekankan keseimbangan dan keluhuran budi; Daoisme dalam Daodejing merayakan keindahan yang hadir, ketika manusia hidup selaras dengan Dao. Sufisme, dari Rumi hingga Al-Ghazali, mengajarkan keindahan sejati ialah jalan pemurnian jiwa, bukan pamer kuasa.
Namun, manusia sering gagal membedakan antara need—kebutuhan yang mendasar—dan want, hasrat yang tanpa batas. Nafsu ingin selalu lebih banyak, lebih besar, lebih mencolok, sementara sumber daya yang menopangnya amat terbatas. Dalam jurang itu, lahir seribu satu anomali moral: kerakusan yang diglorifikasikan, brutalitas yang disamarkan dalam estetika, kedegilan yang dipoles menjadi simbol kebesaran.
John Ruskin dalam The Seven Lamps of Architecture (1849), menekankan pentingnya truth dan sacrifice: karya agung lahir dari integritas, bukan dari kerakusan yang melahap martabat manusia. Dalam kebijaksanaan Timur, keindahan selalu terkait dengan moralitas; ia tidak dapat dipisahkan dari keluhuran budi. Ketika karya seni atau arsitektur mencabut akarnya dari nilai itu, ia menjadi sekadar artefak kejumudan yang dingin, bukti katastrofi peradaban yang mengorbankan jiwa demi kilau fana.
Kita dapat melihat pola yang sama: kemewahan sering hadir dalam senja kala peradaban, saat energi moral menurun dan nilai-nilai profan mengambil alih yang sakral. Daya yang seharusnya diarahkan ke pemeliharaan kehidupan malah terserap pada arena yang sia-sia, menciptakan kebekuan yang melemahkan rasa kolektif kemanusiaan.
Di titik ini, estetika yang sejati memanggil kita untuk meneroka ulang horizon keindahan kesederhanaan. Kesederhanaan bukanlah kemiskinan imajinasi, melainkan kekayaan batin yang membebaskan manusia dari jerat kedegilan dan kejumudan kemewahan. Kesederhanaan menghadirkan ruang bagi refleksi, menghadirkan daya yang menghidupkan nilai, bukan yang mematikan martabat. Inilah alasan mengapa karya seni yang agung sering tampil dengan profan yang terkendali, dengan kedalaman yang tak bergantung pada kemilauan permukaan.
MENYIGI JALAN KELUAR
Bagaimana jalan meneroka fusi horizon baru yang menebus kebrutalan kemegahan? Jawabannya mungkin terletak pada keberanian estetika untuk kembali ke kekuatan moralnya. Keindahan bukanlah kemilauan yang memaksa tunduk, melainkan intensitas yang membebaskan. Seni, dalam pengertian yang bernas, ialah habitus yang merawat kehidupan, bukan alat kedegilan bagi penind...