BANJIR besar melanda Provinsi Bali pada September 2025. Hingga Kamis, 11 September 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 14 orang meninggal akibat meluapnya air sungai yang terjadi di setidaknya 120 titik di Pulau Dewata.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
"Jumlah paling tinggi wilayah terkena dampak banjir berada di Kota Denpasar dengan 81 titik," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam keterangan tertulis, Kamis, 11 September 2025.
Sementara itu, di Kabupaten Gianyar terdapat 14 titik, Kabupaten Badung 12 titik banjir, Kabupaten Tabanan 8 titik, serta Kabupaten Karangasem dan Jembrana masing-masing 4 titik banjir. Adapun di Kabupaten Klungkung, banjir terjadi di Kecamatan Dawan.
Abdul menyebutkan bencana tanah longsor terjadi di 12 titik di Kabupaten Karangasem, 5 titik di Kabupaten Gianyar, dan 1 titik di Kabupaten Badung. "Penanganan darurat masih terus dilakukan oleh berbagai pihak di masing-masing wilayah dengan bantuan BPBD Provinsi Bali dan BNPB," tuturnya.
Banjir kali ini terjadi setelah hujan ekstrem melanda beberapa titik di Bali setelah hujan ekstrem pada Selasa malam, 9 September 2025. Banjir disebut-sebut menjadi yang terburuk di Bali dalam beberapa dekade terakhir.
Aktivis lingkungan menyoroti sejumlah masalah yang berkontribusi terhadap banjir besar. Curah hujan ekstrem memang menjadi faktor. Namun, ada beberapa penyebab lain yang menurut mereka turut berkontribusi memperparah kondisi, di antaranya alih fungsi lahan hijau besar-besaran hingga overtourism. Apa kata mereka?
Direktur Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi Bali Made Krisna Dinata alias Bokis menyebut overtourism kemungkinan menjadi faktor besar dalam banjir kali ini. "Mengingat salah satu indikator overtourism adalah masifnya pembangunan," kata Bokis melalui pesan singkat pada Kamis, 11 September 2025.
Menurut dia, masifnya pembangunan di Bali telah mengurangi lahan terbuka yang bisa menyerap air hujan. Banjir besar yang terjadi, menurut Bokis, merupakan pertanda bahwa Bali hari ini lebih rentan terhadap bencana.
Untuk mengakomodasi wisatawan yang semakin banyak, Bokis berujar lahan pertanian di Bali berangsur-angsur berubah menjadi bangunan. "Degradasi lingkungan yang ditandai dengan alih fungsi lahan khususnya lahan pertanian menjadi bangunan," ucap dia.
Bokis mengatakan sawah adalah faktor penting yang selama ini menjaga Bali dari banjir. Sebab, kata dia, sawah di Bali memiliki sistem irigasi tradisional bernama subak. Subak memiliki fungsi untuk mendistribusi air agar tidak menggenang. Dengan sistem tersebut, setiap satu hektare sawah di Bali mampu menampung hingga 3 ribu ton kubik air.
Apabila lahan pertanian dan subak makin banyak berubah menjadi bangunan, sistem hidrologis air alami akan terganggu. "Air menjadi tidak tertampung dan teririgasi dengan baik, sehingga timbulah banjir seperti yang kita lihat ini," kata Bokis.
Bokis mengatakan pembangunan di Bali tidak disertai rancangan tata ruang yang baik. Walhi Bali, kata dia, kerap mendapati berbagai rencana pembangunan yang melabrak tata ruang. "Semisal pembangunan akomodasi pariwisata seperti hotel, villa, dan lain-lain yang mengalihfungsikan lahan sawah dan perkebunan menjadi bangungan," tuturnya.
Selain itu, Bokis menyebut pembangunan juga acapkali melewati garis batas pantai dan sungai. "Bahkan di kawasan rawan bencana," ucap dia.
Alih fungsi lahan besar-besaran di Bali juga tercatat dalam penelitian. Dalam riset yang terbit di Jurnal Tunas Agraria pada September 2024, peneliti Syahri Ramadhan dan Ratna Patmawati Wisnu Murti mencatat alih fungsi lahan sawah di Bali terjadi secara pesat. Khususnya di daerah metropolitan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan atau Sarbagita yang merupakan pusat ekonomi di Provinsi Bali.
Riset itu mencatat sebesar 784,67 hektare sawah di Kota Denpasar telah berubah fungsi menjadi bangunan pada periode 2018-2023. Dalam waktu yang sama, 2.676,61 hektare sawah di Kabupaten Tabanan beralih fungsi menjadi bangunan. Sementara di Kabupaten Gianyar alih fungsi sawah sebesar 1.276,97 hektare dan di Kabupaten Badung seluas 1.099,67 hektare.
Angka tersebut belum menghitung lahan terbuka lainnya yang juga berkurang di daerah metropolitan Sarbagita. Di antaranya kebun campuran, hutan, pasir pantai, tanah terbuka, hingga tubuh air yang digunakan menjadi perumahan hingga akomodasi pariwisata.
Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menyebut hujan ekstrem merupakan faktor besar dalam banjir di Bali. Namun, curah hujan bukan satu-satunya masalah. "Curah hujan yang tinggi ini diperparah dengan alih fungsi lahan yang cukup besar juga," kata Yuyun melalui sambungan telepon pada Kamis, 11 September 2025.
Yuyun mengatakan alih fungsi lahan di Bali didorong oleh kebutuhan untuk mengakomodasi pariwisata massal. Namun, menurut dia, alih fungsi lahan yang masif dan tidak berkelanjutan tidak tepat dilakukan di tengah krisis iklim yang berdampak semakin besar.
Krisis iklim, kata Yuyun, membuat cuaca semakin tidak ramah bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Curah hujan yang menyebabkan banjir besar di Bali menunjukkan bahwa perubahan iklim semakin mempengaruhi hidup masyarakat. "Perubahan iklim menyebabkan pemanasan air laut yang kemudian menyebabkan seringnya terjadi hujan ekstrem," ucap Yuyun.
Yuyun menyebut perubahan iklim membuat curah hujan semakin tinggi di musim hujan. Sementara di musim panas, krisis iklim menyebabkan udara semakin mematikan, seperti heat wave yang berulang kali terjadi di negara-negara Eropa dan Asia Tengah.
Menurut Yuyun, penting bagi pemerintah untuk mengubah arah pembangunan. Sebab, masyarakat harus segera memitigasi perubahan iklim. Strategi seperti energi terbarukan dan tata ruang yang lebih baik, kata dia, krusial untuk mencegah terjadinya krisis.