Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menyebut bahwa bencana banjir bandang yang terjadi di Bali menunjukkan anomali. Pasalnya, bencana itu terjadi pada musim kemarau.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut, fenomena dinamika atmosfer yang memicu banjir bandang di Bali biasanya muncul pada musim hujan. Namun, hal itu justru muncul saat di masa peralihan.
Fenomena atmosfer tersebut misalnya Madden Julian Oscillation (MJO) dan aktifnya gelombang ekuatorial Rossby atau Rossby Ekuator. MJO yakni gelombang atmosfer yang bergerak dari barat ke timur di wilayah tropis, yang memengaruhi pola cuaca dengan membawa area berawan dan hujan lebat secara bergantian.
Sementara itu, Rossby Ekuator merupakan gelombang atmosfer yang bergerak ke arah barat di sekitar ekuator.
"Ternyata kalau waktu kita belajar awal tentang meteorologi dulu, fenomena-fenomena itu saat itu diperkirakan ya itu kalau kejadiannya di musim hujan," ujar Dwikorita dalam konferensi pers terkait prakiraan musim hujan 2025-2026 dan perkembangan kondisi cuaca nasional, di Kantor BMKG, Jakarta Pusat, Jumat (12/9).
"Tapi, ternyata saat musim kemarau pun, fenomena ekstrem itu pun terjadi. Jadi, nampaknya ada tren kejadian-kejadian itu yang seharusnya tidak terjadi di musim kemarau atau di peralihan, ini mulai fakta menunjukkan itu pun ternyata bisa terjadi," jelas dia.
Dengan begitu, lanjut Dwikorita, bencana banjir bandang di Bali tersebut menujukkan adanya anomali.
"Jadi kayak ada, sesuatu anomali, yang kita sendiri para terutama beliau-beliau para pakar itu juga masih sedang terus mengkaji," terangnya.
Dalam kesempatan itu, BMKG menyinggung fenomena Siklon tropis Seroja. Adapun Siklon tropis Seroja yakni cuaca ekstrem yang berkembang dari bibit siklon tropis dan berpotensi menimbulkan bencana hidrometeorologi.
Siklon tersebut terjadi pada 5-12 April 2021, tumbuh di Laut Sawu, Nusa Tenggara Timur. Siklon itu merupakan badai terkuat yang pernah terjadi di Indonesia dengan kecepatan angin mencapai 100 km/jam.
"Contoh yang lain seperti kejadian Badai Tropis Seroja, itu harusnya tidak terjadi di lintang ekuator, antara 10 derajat lintang selatan dan 10 derajat lintang utara," kata Dwikorita.
"Teorinya itu Badai Tropis itu selalu bertindak apabila memasuki ekuator. Faktanya, terjadi anomali. Lahirnya itu di dalam ekuator," paparnya.
Dwikorita pun menekankan bahwa masyarakat perlu bersikap waspada meski bencana tersebut dipicu oleh fenomena yang terjadi di musim peralihan.
"Sehingga ini juga menjadi catatan kami adanya beberapa hal yang memang perlu terus kita waspadai meskipun itu masih di peralihan," pungkasnya.