
PERJALANAN Indonesia menuju era Revolusi Industri 4.0 tak hanya ditandai dengan adopsi teknologi, tetapi juga dibuktikan dengan lonjakan permohonan paten yang luar biasa. Data dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menunjukkan bahwa permohonan paten dalam negeri terkait teknologi kunci seperti kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), big data, robotika, dan otomasi mengalami pertumbuhan eksplosif dalam satu dekade terakhir, terutama lima tahun belakangan.
Dalam sebuah kesempatan wawancara, Direktur Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), dan Rahasia Dagang (RD) Sri Lastami menyampaikan, pada tahun 2015 dan 2016, jumlah permohonan paten di bidang teknologi baru masih sangat rendah, hanya dua permohonan per tahun. Namun, sejak pemerintah mencanangkan program Making Indonesia 4.0 di tahun 2018, trennya berubah drastis. Jumlah permohonan melonjak dari 16 di tahun 2017 menjadi 26 di tahun 2018, dan terus naik konsisten hingga mencapai puncaknya di tahun 2024 dengan 224 permohonan.
“Kenaikan ini menunjukkan peningkatan hampir 150 persen dibandingkan lima tahun sebelumnya, mencerminkan pemulihan kegiatan riset pasca-pandemi dan tumbuhnya kesadaran para inovator,” ujar Lastami.
Fenomena menarik lainnya adalah dominasi institusi pendidikan dan lembaga riset sebagai pemohon paten terbanyak di bidang IoT, AI, dan robotik. Berdasarkan data permohonan 2015–2024, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) muncul sebagai pemohon paling produktif dalam hal teknologi 4.0.
Menurut data yang ada, Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) memimpin dengan lebih dari 30 permohonan paten terkait teknologi 4.0. PENS bahkan pernah mendapatkan penghargaan dari DJKI sebagai politeknik dengan permohonan paten tertinggi secara nasional pada 2019. Menyusul di belakangnya adalah Universitas Telkom dengan sekitar 25 permohonan. Tak ketinggalan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga berkontribusi aktif dengan 22 permohonan, membuktikan peran pemerintah dalam mendorong inovasi.
Sejumlah perguruan tinggi ternama lainnya juga masuk dalam daftar pemohon terbesar, seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Diponegoro, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Malang, dan Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Masing-masing institusi ini telah mengajukan puluhan paten di berbagai bidang, mulai dari AI hingga otomasi manufaktur.
Lastami dalam kesempatan wawancara menyatakan optimismenya terkait tren ini. Menurutnya, peningkatan signifikan dalam permohonan paten 4.0 menunjukkan bahwa inovator Indonesia kini semakin sadar akan pentingnya melindungi hasil karya mereka.
"Dengan dukungan yang terus disempurnakan, kita bisa menjadikan kekayaan intelektual sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini dikarenakan Indonesia berada pada jalur yang tepat untuk mengakselerasi daya saing teknologi di era Revolusi Industri 4.0,” ucap Lastami.
Peningkatan ini, sejalan dengan proporsi paten dari dalam negeri yang masih terus bertumbuh, menjadi sinyal positif bahwa ekosistem inovasi di Indonesia sedang bergerak ke arah yang benar. Kesadaran untuk melindungi invensi di bidang teknologi masa depan akan menjadi fondasi kuat bagi kemandirian dan daya saing bangsa di kancah global.
Tentunya, lonjakan permohonan paten ini tidak lepas dari peran pemerintah dalam hal ini DJKI yang senantiasa melahirkan berbagai regulasi maupun program-program unggulan untuk mendukung terciptanya ekosistem KI yang kondusif, dalam hal ini paten. Termasuk diantaranya yaitu Grace Period.
Di masa kini, DJKI memberlakukan perpanjangan masa tenggang (grace period) atas publikasi ilmiah suatu paten yang kini diperpanjang dari enam menjadi dua belas bulan. Perubahan ini memberi kesempatan kepada inventor di Indonesia untuk mencari pendanaan dalam proses mendaftarkan paten, tanpa kehilangan kebaruan invensinya.
Dalam kaitannya dengan peningkatan permohonan paten, DJKI terus berperan aktif memberikan pendampingan dan edukasi kepada masyarakat, terutama di lingkungan perguruan tinggi melalui Sentra KI.
“Kehadiran Sentra KI berfungsi sebagai jembatan antara inventor dengan DJKI. Sentra KI membantu mulai dari penyusunan dokumen paten, pencarian literatur, hingga pengajuan permohonan. DJKI juga secara rutin mengadakan seminar, lokakarya, dan program pelatihan tentang kekayaan intelektual, khususnya paten,” ujar Lastami
Lastami melanjutkan, DJKI juga memberikan insentif berupa keringanan biaya pengajuan paten bagi beberapa kategori pemohon, seperti lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan UMKM. Insentif ini secara signifikan mengurangi beban finansial para inventor, sehingga mereka lebih termotivasi untuk mendaftarkan invensinya.