
DALAM rapat dengan DPR, Senin (8/9), Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan pihaknya akan menarik uang sebesar Rp 200 triliun yang ada di Bank Indonesia untuk menjaga likuiditas dan menggerakkan sektor riil.
Menanggapi pernyataan Menkeu Purbaya, Ekonom UGM, Denni Puspa Purbasari, Ph.D., menilai bahwa rencana kebijakan Menkeu Purbaya tersebut lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Hal tersebut sama halnya dengan mengejar capaian keseimbangan internal.
Salah satu caranya adalah dengan menambah likuiditas atau ketersediaan uang tunai di perekonomian. Namun, ketika likuiditas meningkat dan suku bunga menurun, tidak memungkiri investor bisa saja menilai Indonesia tidak lagi menarik untuk menempatkan modal.
“Akibatnya, dana mereka berpotensi dialihkan ke luar negeri. Apabila kondisi ini terjadi, kurs Rupiah akan terdepresiasi, yakni melemah terhadap mata uang asing,” kata Denni, kamis (11/9) di Kampus FEB UGM.
Dari sudut pandang Ilmu Ekonomi, kata Denni, kebijakan yang akan dijalankan pemerintah sebaiknya ditujukan untuk mencapai keseimbangan baik internal maupun eksternal.
Keseimbangan internal berarti tercapainya stabilitas ekonomi makro domestik yang ditandai dengan full employment dan inflasi yang stabil. Di sisi lain, keseimbangan eksternal ditandai dengan adanya stabilitas antara neraca transaksi berjalan dengan aliran modal internasional.
Denni menyampaikan, negara ingin mengimplementasikan kebijakan untuk mencapai stabilitas internal, tetapi di sisi lain bisa berdampak negatif terhadap stabilitas eksternal pula.
“Atau sebaliknya, kebijakan yang ditujukan untuk mengejar stabilitas eksternal, dapat berdampak negatif terhadap stabilitas internal negara itu,” kata dia.
Ia mengatakan, membandingkan returns atau keuntungan dalam penanaman modal adalah perilaku rasional. Dalam hal ini modal akan selalu mengalir ke tempat yang paling memberikan returns tertinggi pada tingkat risiko yang sama.
“Pak Purbaya perlu menimbang ini, agar depresiasi yang terjadi tidak terlalu drastis yang menyebabkan defisit neraca transaksi berjalan tidak lagi dapat dibiayai,” kata dia.
Dikatakan Denni, kebijakan terkait likuiditas dalam perekonomian merupakan ranah kebijakan moneter. Sesuai Undang-Undang, Bank Indonesia memiliki mandat untuk menjaga stabilitas Rupiah, baik dari sisi inflasi maupun nilai tukar terhadap mata uang asing.
Merujuk pada statistik Neraca Pembayaran yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, neraca transaksi dan finansial Indonesia mengalami perubahan di tahun ini. Hingga semester I 2025, neraca transaksi berjalan tercatat defisit (minus) sebesar 3,2 miliar dolar, sementara neraca finansial juga tercatat minus 5,6 miliar dolar.
Kondisi tersebut berbeda dengan tahun 2024. Ketika itu, neraca transaksi berjalan defisit, tetapi neraca finansial masih mencatat surplus (plus) meskipun tipis.
Menurutnya, defisit neraca finansial penyebabnya dipicu oleh keluarnya investasi portofolio, baik obligasi maupun saham yang senilai 8 miliar dolar. Arus keluar tersebut tidak mampu diimbangi dengan masuknya investasi langsung atau foreign direct investment (FDI) yang hanya mencapai 5 miliar dolar. “Investasi portofolio sangat dipengaruhi oleh sentimen investor,” tegasnya.
Selama 2025, Rupiah memang hanya terdepresiasi sebesar 1,44% terhadap dolar AS, 4,62% dengan Yuan, 8,17% dengan dolar Singapura, 8,68% dengan dolar Australia, dan 14,42% dengan Euro.(H-2)