Liputan6.com, Jakarta Punya anak kerap dianggap tujuan utama setelah menikah. Namun, berdasarkan hasil wawancara Health Liputan6.com dengan sejumlah Gen Z, keputusan ini dipandang lebih kompleks.
Gen Z tak lagi terikat pada standar sosial semata, melainkan memikirkan kebutuhan yang ingin diberikan kepada generasi selanjutnya.
Salah satu Gen Z yang ditanya adalah Aji (22), mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang, Jawa tengah itu menjelaskan bahwa memiliki anak tetap penting sebagai simbol keluarga.
“Karena standar realisasi keluarga itu mempunyai anak. Dan yang namanya keluarga itu kan pasti ada ayah, ibu, dan anak. Mau berapa pun anaknya, itu juga tergantung dari finansial ekonomi keluarganya,” katanya.
Hal senada disampaikan Ghita (21) asal Depok, Jawa Barat. Baginya, anak bukan sekadar penerus keturunan, tetapi juga teman hidup. “Apalagi gue suka kesepian. Jadi menurut gue, teman seorang ibu juga bisa jadi anaknya,” ujarnya.
Banyak Anak Banyak Rezeki, Benarkah?
Bagi Gen Z, kesiapan finansial menjadi faktor krusial dalam memutuskan memiliki anak. Aji menilai pola pikir “banyak anak banyak rezeki” sudah tak relevan. Ia menjelaskan, pandangan tersebut muncul di masa lalu ketika banyak anak dianggap membantu pekerjaan orang tua.
“Saya pernah nonton salah satu podcast. Waktu dulu itu mayoritas keluarga yang menganut pemikiran tersebut adalah petani. Banyak anak berarti ada yang ikut menanam, panen, atau jualan. Kalau diadopsi untuk zaman sekarang, kurang setuju sih,” katanya.
Ghita juga mengungkapkan hal serupa. Ia ingin memastikan anaknya tumbuh tanpa harus merasakan kesulitan finansial seperti yang ia alami.
“Ya harus finansial dulu lah. Karena ya nggak bener tuh... gue nggak mau anak gue juga merasakan itu,” ujarnya.
Dilansir dari Pearl, Gen Z yang lahir antara 1997-2012 cenderung menunda untuk memiliki anak. Sekitar 39 persen Gen Z mengaku telah menunda memiliki anak karena kondisi ekonomi saat ini. Pandangan ini mencerminkan pergeseran nilai dari generasi sebelumnya yang cenderung menormalkan tantangan finansial sebagai bagian dari hidup berkeluarga.
Sikap terhadap Tren Childfree
Tren childfree semakin populer tapi mayoritas narasumber tetap menginginkan punya anak. Mereka menilai keputusan untuk tidak memiliki anak adalah hak setiap individu, namun mereka tetap ingin membangun keluarga dengan anak.
“Setiap individu kan punya hak sendiri untuk memutuskan mau punya anak atau nggak. Jadi saya nggak terganggu. Tapi saya pribadi bukan tim childfree,” kata Aji.
Ghita mengaku awalnya asing dengan konsep childfree. Meski menghargai pilihan orang lain, ia tetap berpegang pada keinginannya untuk memiliki anak.
“Menurut gue semua orang tuh pasti pengen punya anak. Cuma banyak faktor kali ya sampai dia memutuskan untuk childfree. Tapi gue yakin kalau mereka dikasih anak, pasti akan senang,” tuturnya.
Sementara itu, Zahra yang sempat setuju untuk childfree pun berubah pikiran. “Kalau misalnya menikah nanti sempat kepikiran buat childfree. Tapi semakin ke sini semakin berpikir-pikir lagi kayaknya nggak deh karena kita butuh untuk melahirkan generasi-generasi emas,” katanya.
Mengutip omongan profesor populasi dan kesehatan keluarga di Columbia School of Public Health, Thoai Ngo menambahkan, Gen Z memprioritaskan pertumbuhan diri dan pengembangan karier sebelum memulai keluarga.
“Mereka tumbuh di dunia yang dibentuk oleh krisis iklim dan ketidakstabilan ekonomi. Ini lah alasan utama mengapa sebagian Gen Z juga masih bertahan dengan konsep childfree,” ujarnya.
Pola Asuh yang Lebih Seimbang
Pandangan Gen Z soal pola asuh juga menarik. Mereka berusaha mencari keseimbangan antara ketegasan dan kelembutan. Ghita menekankan pentingnya peran kedua orang tua dalam mendidik anak.
“Kerasnya sama gue, lembutnya dari bapaknya. Jadi nggak sama-sama dar-der.-dor At least kalau dimarahin juga masih bisa mikir, nggak cuma tertekan,” ujarnya.
Ia juga percaya bahwa pendidikan dan adab adalah fondasi utama bagi anak.
“Ibu itu sekolah pertama anak. Nomor satu itu pasti adab. Pesan-pesan kecil kayak ‘Jangan masuk rumah orang tanpa permisi’, ‘jangan minta-minta’ itu sampai sekarang masih kepake,” lanjutnya.
Zahra yang kini berusia 21 tahun asal Padang, Sumatera Barat juga mendukung konsep parenting yang seimbang.
“Kalau anak salah, harus tetap tegas dan tega menegur. Banyak kasus sekarang di mana anak dibiarkan berbuat salah dengan alasan ‘masih kecil,’ padahal seharusnya dari kecil justru diajarkan mana yang benar,” katanya.
Gen Z tentang Tantangan Orangtua Saat Memiliki Anak
Salah satu tantangan terbesar orangtua saat memiliki anak adalah beban trauma masa lalu yang belum terselesaikan. Zahra menilai hal ini menjadi hambatan besar dalam pola asuh.
“Tantangan terbesar orangtua saat punya anak adalah ketika mereka masih membawa trauma masa lalu dan menumpahkannya ke anak. Sebenarnya, itu tanda kalau kita belum siap menjadi orangtua karena belum selesai dengan diri sendiri,” ujarnya.
Dilansir dari Psychology Today, trauma yang dialami oleh orang tua pada masa kanak-kanak memiliki dampak jangka panjang. Trauma tersebut dapat memengaruhi interaksi normal antara ibu dan anaknya.
"Menurut gue begitu. Kalau zaman dulu, para ibu lebih sering memarahi anak-anaknya, jadi wajar kalau anak-anak dulu cenderung lebih takut dan trauma sampai dewasa," kata Ghita.
...